Berita

GPFI: Pengurangan Impor Bahan Baku Obat Butuh Waktu

Bisnis.com, JAKARTA – Gabungan Pengusaha Farmasi Indonesia (GPFI) memprediksi pengurangan nilai importasi bahan baku obat akan lebih lama dari perkiraan Kementerian Perindustrian. Berdasarkan data Kemenperin, industri bahan baku obat (BBO) nasional dapat mengurangi ketergantungan impor BBO ke level 90 persen pada 2021. Sebaliknya, GPFI meramalkan pengurangan hingga 90 persen baru akan terjadi pada 2022-2023. "Ketergantungan [impor BBO] akan berkurang. Walaupun sangat kecil, tapi ada kemajuan. Artinya, tidak yang selama ini kita kenal sebesar 95-96 persen. Mungkin tahun depan kurang lebih hanya akan 93 persen, [tahun] kemudian tinggal 90 persen," ujar Direktur Eksekuti GPFI Dorojatun Sanusi kepada Bisnis, Minggu (25/10/2020).

Kemenperin meramalkan importasi BBO berbasis kimia pada 2022 akan mencapai sekitar 86,18 persen, sementara itu pada 2023 akan kembali turun ke kisaran 82,83 persen. Dengan kata lain, ramalan pengurangan impor BBO oleh Kemenperin akan lebih cepat sekitar 1-2 tahun dari yang asosiasi harapkan. Dorojatun mencatat setidaknya ada tiga kelompok pabrikan yang akan memproduksi BBO di dalam negeri, yakni PT Kalbe Farma Tbk., PT Kimia Farma Tbk. (Persero), dan PT PT Infion Pharma. Adapun, Dorojatun menyatakan setidaknya harus ada dua hal yang harus diperhatikan pabrikan dalam memproduksi BBO, yakni dapat tersedia setiap saat dan terjangkau secara ekonomi. Oleh karena itu, Dorojatun berujar peran pabrikan farmasi milik negara besar dalam memproduksi BBO di dalam negeri. Dengan kata lain, peran Kimia Farma harus signifikan dalam memproduksi BBO agar pemerintah dapat mematok harga bahan baku di dalam negeri. Di samping itu, Dorojatun menyoroti rencana produksi parasetamol yang dicanangkan akan dihasilkan oleh kerja sama antara Kimia Farma dengan PT Pertamina (Persero). Seperti diketahui, Kimia Farma berencana untuk memproduksi parasetamol dengan Pertamina pada 2024.

Kemenperin mendata sejauh ini industri farmasi nasional masih mengimpor 7.000 ton parasetamol per tahun senilai US$32,5 juta. Dorojatun pun mempertanyakan kecepatan investasi yang akan dilakukan Kimia Farma dengan Pertamina dalam membuat parasetamol. Pasalnya, ujar Dorojatun, Pertamina harus membangun industri phenol sebelum membangun lini produksi parasetamol. Phenol merupakan salah satu produk turunan dari industri petrokimia yang kerap dijadikan bahan baku beberapa industri, seperti industri plastik, tekstil, dan panel kayu. "Masih panjang menuju [produksi] parasetamol. Untuk mencapai industri phenol, dari industri dasar petrokimia, itu masih jauh," ucapnya. Dia menyatakan PT Chandra Asri Petrochemical Tbk. pernah meramalkan bahwa industri phenol nasional baru dapat dibangun pada 2027. Dengan kata lain, ujarnya, phenol belum akan ada pada 2024. "Tapi, kalau Pertamina bisa menghasilkan [phenol] sesuai programnya, itu bagus. Karena, phenol bukan dibutuhkan [untuk produksi] parasetamol saja, tapi industri lain juga," ujarnya.

Share:
Komentar (0)

There are no comments yet

Tinggalkan komentar di sini!