Berita

JawaPos.com – Farmasi menjadi salah satu industri yang berpeluang tumbuh pesat. Namun, pelaku usaha sektor tersebut menyatakan bahwa Indonesia memiliki pekerjaan rumah besar guna mengembangkan bisnis itu. Khususnya, bahan baku obat generik yang diproduksi massal.

Ketua GP Farmasi Jatim Philips Pangestu menjelaskan, kemajuan industri farmasi tanah air patut diapresiasi. Saat pandemi, seluruh pemangku kepentingan merasa industri kesehatan, mulai dari pelayanan, alat kesehatan, sampai farmasi, menjadi penting.

“Kita yang dulu impor seluruh bahan baku obat kini mulai mencoba menambah sektor hulunya. Beberapa waktu lalu, Indonesia bisa menggaet Tiongkok untuk transfer teknologi dalam pembuatan vaksin mRNA,” ungkapnya kepada Jawa Pos Rabu (30/1).

Namun, hal tersebut sebenarnya masih meninggalkan masalah yang cukup besar. Yakni, ketergantungan industri farmasi terhadap bahan baku obat massal. Nyatanya, obat sederhana seperti parasetamol saja masih harus mengandalkan bahan baku dari luar negeri.

Salah satu alasan terbesar adalah margin yang terlalu tipis. Saat ini produk obat seperti parasetamol punya nilai jual yang rendah. Hal itu membuat produsen global enggan untuk melakukan ekspansi atau transfer teknologi.

“Karena itu, mayoritas obat yang bahan bakunya mulai diproduksi di Indonesia biasanya yang punya nilai jual tinggi. Misalnya, untuk pengobatan kanker dan penyakit kronis lainnya,” paparnya.

Menurut Phillips, kondisi saat ini bisa membawa risiko besar. Sebab, jika ada kejadian seperti pandemi Covid-19 dan negara produsen mengembargo produk generik, Indonesia bisa darurat obat.

“Pemerintah harus berperan aktif. Produsen global harus diberi insentif besar agar bisa tertarik untuk melakukan investasi di tanah air,” tuturnya.

Editor : Estu Suryowati

Share:
Komentar (0)

There are no comments yet

Tinggalkan komentar di sini!